• Home
  • Posts RSS
  • Comments RSS
  • Edit
  • Cerpen ku

    Kamis, 02 Desember 2010

    Bumipun Bicara
              Tak terasa air matanya jatuh membasahi pipi. Ia teringat kembali ketika pertama kali ia berdiri di tempat yang sama sepuluh tahun yang lalu. ia ingat betapa senangnya ia hari itu.  Dengan senyum gembira ia bernyanyi lagu “Naik-Naik” di atas punggung ayahnya. Sesampainya di atas ia memandangi sekitarnya, ia senang berada di tempat yang tinggi bisa melihat semuanya katanya waktu itu. Ditatapnya hamparan itu, ia sadar Kini hamparan itu dipenuhi bangunan-bangunan yang tertimbun tanah merah tak seperti 10 tahun yang lalu. Tidak ada pohon tinggi nan meneduhkan, yang tersisa tinggal sisa-sisa pohon tumbang yang belum dibersihkan. Tidak ada lagi sawah hijau yang mendamaikan yang ada hanya tumpukan tanah merah bercampur lumpur.  

    Di tempat lain, seorang ibu terbangun dengan terengah-engah mungkin ia mengalami mimpi buruk, tapi mimpi apa beliau siang-siang seperti ini? Tak lama kemudian tangisnya pecah dia berteriak-teriak memanggil nama seseorang “FAJAR……. FAJAR…… Huuuuhhuuuuuhuuuu”. Dia berteriak sambil mengguncang-guncangkan tubuh seorang anak berumur sekitar 10 tahun. Tubuhnya kaku membiru, dengan baju masih basah. Warga baru saja menemukan mayatnya tersangkut pada dahan pohon di depan bangunan tempat mereka sekarang. Kemudian, seseorang lelaki berumur 40an menghampirinya sambil memeluknya ia berbisik “tenang bu,,, Fajar sudah tenang di sana, ikhlaskan bu,,, ikhlaskan,,, kasihan anak kita kalau ibu seperti ini”. Dengan sabar laki-laki itu membelai kepala istrinya, dari matanya tampak kesedihannya tapi ia berusaha tegar seperti apa yang telah ia katakan pada istrinya. Tangisnya baru pecah setelah istrinya bertanya, “Mau kita kuburkan di mana anak kita Mas?”. Ia terlihat bingun juga, karena keadaan di luar tak memungkinkan mereka keluar dari tempat ini ketinggian air mencapai 1 meter, dan mereka tak mempunyai perahu untuk keluar. Mereka hanya berharap akan segera datang bantuan pada mereka.
              Di daerah lain, seorang anak sedang dimarahi ibunya karena mandi dengan air sebanyak dua bak penuh. “TIDAK KAH KAU TAU!” suaranya lalu mengecil karena para tetangga melihatnya “kita harus berhemat air! Ayahmu harus bekerja di ladang seharian untuk mendapatkan air satu ember itu” katanya sambil menunjuk ember hitam berukuran sedang. “sudah berulang kali ibu katakan, kau mandi pakai air bilasan, bukan air ini! Coba hitung berapa ember yang telah kau habiskan untuk mandi tadi? Dan berapa hari ayahmu harus bekerja di ladang terbuang sia-sia untuk membersihkan badanmu?”
    Sang anak sudah mulai menangis ia bukan menangisi jerih payah ayahnya tapi karena ia kesakitan setelah ibunya memukul badannya. Bukan salah si anak karena ia tidak bisa menghitung. Dan bukan pula salah si Ibu karena ia tertekan dalam kemiskinan dan tidak bisa membeli air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.
              Setelah melihat ketiga kejadian itu, Biru menangis, dan merebahkan tubuhnya di atas tanah. “Bumi, Mengapa kau marah pada kami? Apakah salah kami? Kenapa kau tak hukum saja mereka yang mengeksploitasimu? Kenapa kami yang menanggung semua ini Bumi?”
    Dengan bahasa yang tak di mengerti oleh Biru, Bumi bersenandung

    Telah ku patuhi titah Tuhan kita
    Tuk menyediakan tempat untuk mu
    Telah ku patuhi titah Tuhan kita
    Tuk memberimu berbagai hasil ku

    Tapi…….
    Kalian  ingkari  titah Tuhan kita
    Merusak tempat  tinggal mu
    Kalian ingkar i titah Tuhan kita
    Mengeksploitasi hasil ku

    Inikah rasa terima kasih kalian pada Tuhan kita?
    Inikah yang bisa kalian berikan?”
    ARS

    0 komentar:

    Posting Komentar